Friday, November 6, 2009

Padang, Sumatera Tragic Earthquake

As fellow Muslims, we must help the Padang victims in any
way we can, thru donations, energy and prayers. Almost
2000 or more perished during the powerful earthquake. To
Allah we seek refuge from His anger and wrath, and from
terrible incident like this. And unto Allah we seek help and
bounties (rizq) so that we could live in a harmonious and
peaceful life without any life turmoil and trauma.

Impressions from West-Sumatra by IFRC.
Ambacang Hotel in Padang, Sumatera after the 7.6 Richter
scale earthquake

Destruction - Indonesia earthquake response (2009) by IFRC.


Aerial shot of Tandikat in Pariaman District where 500
people are thought to have been buried under landslides,
6 October 2009.

Death - Indonesia earthquake response (2009) by IFRC.


Survivors - Indonesia earthquake response (2009) by IFRC.

A family gather in front of their collapsed house caused
by the quake, 6 October.

Indonesia earthquake response (2009) by IFRC.

Learning by playing by IFRC.
Members of the Indonesian Red Cross Society lead students in a game aimed at increasing their disaster preparedness skills. This was part of the integrated community-based risk reduction programme.

CARITAS 1813 LR by caritasinternationalis.
Padang Earthquake Relief: 8th of October 2009:

Allah Azza Wajalla said in the Al Quran:

[11:67] Those who transgressed were annihilated by the
disaster
, leaving them in their homes, dead.
[4:62] How will it be when a disaster hits them, as a
consequence of their own works? They will come to you
then and swear by GOD: "Our intentions were good and
righteous!"
[14:28] Have you noted those who responded to GOD's
blessings by disbelieving, and thus brought disaster
upon their own families?
[15:73] Consequently, the disaster struck them in
the morning.
[29:34] "We will pour upon the people of this town a
disaster from the sky, as a consequence of their wickedness."

[2:64] But you turned away thereafter, and if it were
not for GOD's grace towards you and His mercy, you
would have been doomed.
[4:173] As for those who believe and lead a righteous life,
He will fully recompense them, and shower them with
His grace. As for those who disdain and turn arrogant,
He will commit them to painful retribution. They will
find no lord beside GOD, nor a savior.

Monday, October 19, 2009

Sunday, July 26, 2009

Hal Nahnu Qaumun Amaliyyuun?

Adakah Kita Orang-orang yang BerAMAL?



Amal merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari iman. Imam Hasan Albasri menegaskan bahwa iman bukanlah angan-angan dan harapan hampa, akan tetapi ia adalah keyakinan yang mantap dalam hati dan dibuktikan dengan amal yang nyata.

Aktivis dakwah yang konsisten berharakah ibarat air sungai yang sentiasa mengalir dengan baik , membekalkan air yang sihat untuk hidupan-hidupan yang memerlukannya. Sebaliknya air sungai yang bertakung di suatu lembah tidak mengalir kemana-mana dan tidak pula diperbaharui airnya lama-kelamaan menjadi air yang berpenyakit, tempat pembiakan jejentik, rasanya menjadi semakin payau bahkan boleh memudaratkan hidupan yang lain. Air yang berpenyakit inilah perumpamaan aktivis dakwah yang mun'athofaat yang mana potensinya membusuk menjadi negatif kerana lemahnya iltizam dan konsisten berharakah dengan dakwah ini dan lebih mejadi pemerhati dan bukan pengamal dakwah Islamiyyah. Maka lahirlah penyakit-penyakit hati, pemikiran dan tindakan, seperti dengki, kibr, riya', buruk sangka, namimah, ghibah, 'problem maker'(pembuat masalah) bukan 'solution maker'(penyelesai masalah), suka mencari dan membesarkan kesalahan yang lain, terlalu idealis tetapi lemah praktis dan sebagainya.

Aktivis dakwah yang mukhlis bersama dalam harakah dakwah adalah untuk memberi dan bukan untuk meminta, sudah semestinya kita mengurangi beban dan bukan menjadi beban dan bahkan menjadi kewajiban kita memberikan seluruh potensi yang kita miliki untuk da’wah dan bukan mencari keuntungan dari da’wah.


Ingatlah, sesungguhnya orientasi kita dalam harakah dakwah ini adalah orientasi amal dan hanya amal lah yang dapat mengangkat derajat kita di sisi Allah subhanahu wa ta'ala serta membuat Allah mengakui kita sebagai aktivis da’wah. Allah berfirman:

“Dan berbuatlah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman akan melihat amal kalian, dan kalian akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. “
(At-taubah :105)

Ketahuilah, kewajiban dan tanggungjawab yang harus kita pikul ternyata lebih banyak dari waktu yang tersedia dan lebih besar dari potensi yang kita miliki, oleh itu janganlah sampai ada di antara kita yang hanya duduk, terpaku, mejadi pemerhati dan berdiam diri di dalam gerakan dakwah ini kerana gerakan dakwah ini bukanlah gerakan dakwah tanpa kerja (pengangguran).


Bila hal itu terjadi, maka ia akan membawa kesan negatif kepada dirinya dan harakah dakwah, sebagai contoh munculnya suasana dan iklim yang tidak sihat iaitu iklim ghibah dan namimah di antara para da’i yang dapat menghambat perjalanan harakah dakwah dan meruntuhkan bangunan dakwah. Tidakkah kita menyedari bahawa Rasul melarang kita dari dua hal, yaitu membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya (qiila wa qoola = katanya…dan katanya…) dan menyia-nyiakan harta (idlo’atul maal ). Termasuk nasihat daripada pendiri dakwah menegaskan bahwa setiap masalah yang tidak berorientasi pada amal,maka membicarakannya adalah sesuatu yang memberatkan diri dan dilarang oleh syari’at.

Sekaranglah saatnya kita memperbanyak amal Islami dan meningkatkan hasil dakwah yang muntijah dan tidak ada waktu bagi kita untuk banyak berbicara atau terlebih berbicara tentang sesuatu yang tidak berguna kerana masih banyak medan da’wah yang belum tergarap. Betapa banyak medan da’wah yang menjadi tanggung jawab kita di kalangan buruh, pekerja, pedagang, petani, nelayan, professional, ibu rumah tangga, remaja, anak jalanan, dll. Sungguh naïf jika ada di antara kita yang tidak disibukkan dengan amal dakwah dan tarbiyyah ini.

Sungguh, Ustadz Hasan Al-Banna pada masa hidupnya pernah berkata bahwa kita harus bekerja lebih banyak untuk umat dari pada untuk diri kita sendiri.

Ladang da’wah begitu banyak terbuka luas di depan kita. Siapa yang akan mulai menggarapnya? Tentu saja diperlukan para da’i yang berinisiatif, kreatif dan produktif yang motivasinya kerana Allah dan berorientasi kepada redha Allah. Lupakah kita bahwa Ar-Rasul pernah bersabda bahwa barang siapa yang berinisiatif mengerjakan amal kebaikan lalu diikuti oleh orang lain maka baginya pahala atas perbuatannya itu dan pahala dari orang-orang yang mengerjakan setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun… (Mafhum daripada HR. Bukhari ).

Indikasi bahwa kegiatan dan proses tarbiyah yang kita selenggarakan telah berjalan cukup baik (efektif) adalah jika para da’i dapat merealisasikan dirinya sebagai syakhshiyyah Islamiyah dan da’iyah di tengah masyarakatnya. Kehadiran, penglibatan, peranan, dan sumbangannya dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasul sollallahu ‘alaihi wassalam bahwa “orang yang paling baik adalah orang yang paling banyak kebaikannya di masyarakat. (HR. Tirmidzi).

Rasulullah sollallahu ‘alaihi wassalam menggambarkan bahwa profil seorang mukmin adalah seperti lebah, yaitu hanya mengambil yang baik dan memberi yang baik (HR. Ahmad).

Bila ia hinggap di suatu tempat maka ia akan mengambil yang terbaik dari tempat itu yaitu madu tanpa merosak atau mematahkan ranting tempat ia berpijak. Bahkan lebah membantu bunga-bunga tersebut melakukan proses persenyawaan. Dan ketika ia meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat yang lain, maka ia meninggalkan sesuatu yang terbaik pula yaitu madu serta meninggalkan kenangan manis kepada lingkungan yang pernah ia hinggapi. Dan begitu seterusnya. Ikhwah dan Akhawat fillah, jadilah seperti lebah yang selalu mencari unsur-unsur kebaikan dan memberikan buah kebaikan. Benih-benih kebaikan itu tidak akan terjadi apabila kita tidak giat melakukan amal daa'wi di masyarakat.

Sesungguhnya amal adalah buah daripada ilmu dan keikhlasan. Ilmu yang kita peroleh di dalam halaqah, tatsqif dan ta’lim harus mengesani secara positif dalam kehidupan kita sehari-hari di lingkungan tempat kita beramal. Kita tidak boleh merasa puas dengan kegiatan tarbawi, tatsqifi, dan tanzhimi yang tidak ditranformasikan kepada masyarakat. Kita tidak boleh menganggap cukup dengan aktivitas tarbawi yang bersifat internal tanpa mengembangkannya dalam bentuk amal daa'wi dan kegiatan sosial kerana konsep tarbiyah yang kita yakini adalah memadukan tarbiyah nukhbawiyah (pembinaan aktivis dakwah) dan tarbiyah jamahiriyah (da'wah 'ammah yang bersifat terbuka dan massif).

Jadilah pekerja da’wah yang berperanan aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh stuktur dakwah. Janganlah kita menjadi penonton dalam persaingan dan pertarungan da’wah yang hanya tertawa, bergembira, bersorak-sorai, bertepuk tangan dan bersiul menyaksikan pemain yang bertarung untuk merebut kemenangan di medan pertandingan atau kadang kala berkomentar negatif jika pemain melakukan kesalahan.

Kita tidak mengenal istilah pemerhati da’wah dalam kamus da’wah kita kerana yang ada hanyalah aktivis da’wah dan harakah. Oleh itu, janganlah ada di antara kita yang menjadi pemerhati da’wah tapi hendaklah menjadi aktivis dakwah dan harakah.

Amanah dakwah terbuka luas di hadapan kita. Demi Allah, sesungguhnya sangat ramai mereka yang menunggu-nunggu sentuhan dan belaian dakwah dan tarbiyyah Islamiyyah ini, maka adakah masih ada alasan untuk kita banyak berkata daripada beramal?


dari http://www.halaqah-online.com

Friday, July 24, 2009

Pengalaman yang Tidak Dapat Dilupakan (5)



Semasa dalam perjalanan ke tanah haram kedua, Madinah Al Munawarrah dengan bas, saya dan suami berasa sungguh teruja kerana kami akan menuju ke
tempat yang suci yang menjadi tempat tinggal Rasulullah s.a.w dan para sahabah yang mulia. Jauh perjalanan itu adalah 450km dari Makkah Al Mukarramah. Itu adalah selepas berada 7 hari di Makkah dan selamat mengerjakan ibadah umrah, alhamdulillah.

Sepanjang perjalanan ke Madinah, saya cuba berjaga untuk memerhatikan pemandangannya. Saya perhatikan perjalanan yang memakan masa selama
lebihkurang 5 jam itu agak mengantukkan kerana cuaca tengahari itu adalah panas, semestinya , dan pemandangannya hampir sama di sepanjang jalan itu - keadaan gurun berpasir dan berbukit batu dengan belukar dan pokok-pokok renek yang jarang di merata tempat. Lama kelamaan mata saya dan suami tidak tertahan lagi, tertidurlah kami di kebanyakan masa di perjalanan itu kerana mungkin sejak subuh pada pukul 4 pagi, kami ber
jaga dan berkemas barang dan kurang berehat. Namun tidur saya tidaklah terlalu lena kerana, selepas 15 mt, saya akan terjaga dan mata melerek melihat mencari kelainan alam sekeliling. Cuma longkang sederhana dalam yang panjang tidak putus-putus kelihatan di tepi jalan yang berdebu itu. Tidak banyak hidupan
kelihatan, maklum tanahnya gersang dan kering, jarang hujannya. Tumbuhan yang berdaun berduri saja yang banyak hidup.

Saya mula terfikir bagaimana di zaman Nabi dahulu, beliau dan para sahabat membuat perjalanan dari Makkah dan Madinah dengan menaiki unta yang perlahan perjalanannya dalam keadaan yang amat panas, kering dan berdebu, berhari-hari lamanya. Kata mutawif kami di Makkah, baginda Nabi, mengambil masa selama 9 hari untuk s
ampai ke Madinah dari Makkah. SubhanaLlah, lamanya..hiba rasanya hati saya mengenangkan kesusahan yang perlu mereka lalui. Namun begitu ia adalah ujian dan latihan kesabaran bagi Baginda, muslimin dan orang-orang di zaman itu. Kesabaran yang tinggi seperti itu adalah perlu bagi menyebarkan dakwah Islam yang telah berdepan dengan pelbagai mehnah yang sukar. Tanpa kesabaran, kejayaan dakwah Islami tidak mungkin akan berjaya, apatah lagi untuk menegakkan daulah Islamiyyah di Madinah di zaman Nabi. Allahu Akbar..!


Penumpang bas lain bersama kami pun ramai yang tidur. Masing-masing berasa inilah masa untuk berehat sebelum kami sampai di Madinah dan beribadat lagi di masjidnya yang indah, iaitulah di Masjidil Nabawi. Di separuh perjalanannya, kami sa
mpai ke sebuah tempat rawat dan rehat yang mempunyai musolla dan restoran serta kedai makan. Saya bersyukur kami sudah sampai sejauh itu dalam keadaan selamat. Tempat itu walaupun tidak berpokok banyak, ia agak
sibuk dengaan bas dan kenderaan lain, kerana itulah sesat
unya tempat untuk mendapatkan bekalan minyak, makanan dan tempat untuk bersolat. Sempat saya mengambil sekeping dua foto..


Selepas bersolat jamak qasar zohor dan asar, kami ke restoran untuk makan. Makanan di menu hampir habis apabila sampai giliran kami, walaupun hanya penumpang sebas kami yang membelinya. Banyak lagi bas yang akan datang, pada hemat saya. Syukurlah kami dapat juga makan kentang dan ayam goreng beserta minuman ringan, alhamdulillah. Nak makan nasi mandi arab, nasi sudah habis! Itu di kira kami berada di restoran segera Arab. Bas menanti kami yang agak akhir makan sambil membunyikan hon; maka bergegas jugalah kami makan. Semasa itu kami sudah ramai mengenali rakan-rakan sehotel dari Makkan. Ada yang sudah bergurau senda dengan kami, dan ada juga yang masih enggan senyum dan bertegur sapa.

Sebaik tiba di Madinah, di pinggirannya, hati kami melonjak keriangan dan kesyukuran..Jadi..inilah Madinah Munawarah yang sebenarnya, yang sebelumnya saya hanya dapat baca ceritanya dalam buku seerah dan sejarah! Cantiknya bandar Nabi ini, ya Allah,
terdetik di hatiku. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga saya dan suami ke sini...
MasyaAllah, cantiknya rumah-rumah dan bangunannya.. Banyak pula pokok-pokok dan rumputnya..tidak seperti sedikit masa lalu.

Bangunan-bangunannya tinggi dan moden, tak pernah saya lihat di mana-mana dalam dunia ini. Ada yang lama (- agak rendah dan tidak colourful,) dan ada yang baru...tinggi dan berwarna warni. Yang barunya, sungguh cantik sekali..Unik da
n berbeza dari yang ada di negara barat atau negara kami sendiri. Ada berbentuk moor dan ada bersegi empat, unik dan luminous bangunannya. Sayang sekali saya terlupa untuk ambil fotonya, mungkin kerana agak jauh dan saya masih dalam keadaan teruja, terlupa nak klik kamera. Namun foto-foto masjid, alhamdulillah saya dan suami sempat mengambilnya seperti Masjid Quba dan juga Masjidil Nabawi ini.




Thursday, June 18, 2009

Seasons of Allah's Creation

Picture of Autumn Colour - Free Pictures - FreeFoto.com
Pictures of the Autumn Colour in Albert Park,
Middlesbrough, Cleveland.


Picture of Autumn color in Vermont - Free Pictures - FreeFoto.com
Pictures of Autumn color in Vermont.

Picture of Autumn Colour - Fall Color - Free Pictures - FreeFoto.com
Autumn

Picture of Spring - Free Pictures - FreeFoto.com
Pic of spring

Picture of Tulips - Free Pictures - FreeFoto.com
Spring

The Reason Why I Love Spring by Ivan Makarov.
Spring in Provo

Picture of Mountain, Carinthia, Austria - Free Pictures - FreeFoto.com
Photograph of Mountains in Austria in the Winter.

Picture of Winter Scene, Northumberland - Free Pictures - FreeFoto.com
Picture of a Winter Scene, Northumberland.

The Bridge to Spring - Part 2 by WisDoc.
Madison, Wisconsin

Greer Spring ~ Ozarks Shangri-La by Uncle Phooey.
Spring

The Winter Solstice by BarneyF.

(17) O ye who believe! Observe your duty to Allah. And let every soul look
to that which it sendeth on before for the morrow. And observe your duty
to Allah. Lo! Allah is Aware of what ye do. (18)
And be not ye as those who
forgot Allah, therefor He caused them to forget their souls. Such are the
evil-doers. (19)
Not equal are the owners of the Fire and the owners of the
Garden. The owners of the Garden, they are the victorious. (20)
If We had
caused this Qur'an to descend upon a mountain, thou (O Muhammad)
verily hadst seen it humbled, rent asunder by the fear of Allah. Such
similitudes coin We for mankind that haply they may reflect. (21)
He is Allah,
than Whom there is no other God, the Knower of the Invisible and the Visible.
He is the Beneficent, Merciful.

(Al Hasyar)

Monday, June 1, 2009

Monday, April 27, 2009

Lagi Contoh Hadith Palsu

Ketujuh:

Maksudnya: Perselisihan dalam umatku adalah rahmat.

Kedudukan Hadis:

Hadis ini telah dikategorikan oleh beberapa orang ulama hadis sebagai tidak ada asalnya. Perkataan ini bermaksud tidak ada asal usulnya dalam mana-mana buku hadis. Begitulah pendapat yang dikemukakan oleh al Subki sebagaimana dicatatkan oleh al Albani dalam bukunya Silsilah al Ahadith al Dhaifah[28]. Al Iraqi juga menolak kesahihan hadis ini[29].

Ulasan:

Hadis ini telah menyatakan bahawa menjadi satu rahmat bagi kita jika kita berselisih pendapat. Ini adalah pandangan yang perlu diteliti dengan mendalam kerana kita amat yakin bahawa perselisihan selalunya membawa kepada perpecahan. Ibn Hazm dalam bukunya al Ihkam Fi Usul al Ahkam telah menyatakan bahawa jika sekiranya perselisihan itu rahmat, maka sudah pasti permuafakatan pula akan menjadi satu perkara yang tidak dirahmati. Ini adalah pendapat yang tidak benar sama sekali[30].

Ada sesetengah penulis yang menafsirkan perselisihan dalam hadis ini dengan maksud perselisihan dalam bidang fiqh dan bukan perselisihan dalam bidang aqidah. Tafsiran sebegini adalah tepat tetapi pada pandangan penulis, kita tidak perlu membuat tafsiran sebegini kerana hadis ini bukanlah hadis yang sahih. Tafsiran sebegini diperlukan sekiranya hadis ini sahih dan kita tidak dapat memahami maksudnya. Ada pun sekiranya sesuatu hadis itu tidak sahih, tidak perlulah kita bersusah payah hendak memahaminya. Tumpukan usaha kita kepada hadis yang sahih sahaja. Wallahu a’lam.

Kelapan:

Maksudnya: Sabar itu separuh daripada iman

Kedudukan Hadis:

Menurut Ibn Rajab al Hanbali, ini adalah kata-kata sahabat dan bukan hadis Nabi SAW[31]. Di antara yang menyebutnya sebagai hadis Nabi SAW ialah al Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulumiddin. Menurut al Iraqi yang mengkaji hadis-hadis Ihya’ Ulumiddin, hadis tersebut adalah dhaif[32]. Begitu juga dengan al Albani yang menyatakannya sebagai sangat dhaif[33]. Menurut al Baihaqi dan al Zubaidi, kata-kata ini mauquf (kata-kata sahabat)[34].

Ulasan:

Memandangkan bahawa kata-kata ini adalah kata-kata sahabat dan melihat kepada maksudnya yang tidak menyalahi mana-mana asas dalam Islam, maka boleh diucapkan dan disebarkan kepada masyarakat. Apa yang perlu ialah menyatakannya sebagai kata-kata sahabat atau kata-kata hikmah dengan tidak menyatakannya sebagai hadis Nabi SAW. Kita juga mesti mengutamakan ayat-ayat Al Quran yang menceritakan perihal kesabaran dan kepentingannya seperti ayat-ayat di dalam surah Luqman yang menceritakan nasihat Luqman kepada anaknya yang antara lainnya mengandungi nasihat supaya bersabar di atas segala ujian yang menimpa diri. Begitu juga dengan hadis-hadis sahih yang menceritakan soal kesabaran dan pahala orang-orang yang sabar. Itu mesti didahulukan daripada kata-kata hikmah atau kata-kata sahabat agar masyarakat sentiasa memahami kewajipan mendahulukan Al Quran dan hadis sahih dalam kehidupan.

Kesembilan:

Maksudnya: Kita telah pulang dari jihad yang kecil ( peperangan) dan kita menuju kepada jihad yang lebih besar/paling besar. Para sahabat berkata: Apakah jihad yang paling besar? Rasulullah berkata: Jihad menentang hawa nafsu.

Kedudukan Hadis:

Hadis ini telah dinilai sebagai hadis dhaif oleh Syuaib al Arnaouth ketika beliau menyemak hadis-hadis di dalam buku Jami’ al ‘Ulum Wa al Hikam tulisan Ibn Rajab al Hanbali[35].Beliau telah mengambil pandangan Ibnu Hajar al Asqalani yang menyatakan bahawa kata-kata ini ialah kata-kata seorang ulama tabiin yang bernama Ibrahim Bin ‘Ablah.

Menurut al Albani dalam Silsilah al Ahadith al Dhaifah: Munkar. Al Albani telah menukilkan kata-kata Ibnu Taimiyyah (728H) dalam Majmu’ al Fatawa:

Tidak ada asalnya (hadis tersebut) dan tidak diriwayatkan oleh pakar-pakar yang mengetahui tentang kata-kata Nabi SAW dan perbuatan baginda. Dan memerangi orang-orang kafir (jihad) adalah sebesar-besar amalan bahkan merupakan amalan yang terbaik yang dilakukan oleh seseorang manusia[36].

Ulasan:

Hadis ini boleh menyebabkan sebahagian umat Islam tersalah anggap lantas memperkecilkan kefardhuan jihad dan keagungan pahala mereka yang berjihad sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al Quran dan hadis-hadis sahih. Hadis ini sering digunakan oleh mereka yang bercakap atas nama kesufian untuk menunjukkan betapa pentingnya jihad melawan kehendak hawa nafsu. Tiada siapa yang menafikan perlunya kita melawan nafsu yang ingin mengajak ke arah maksiat dan sudah sedia ada di dalam hadis-hadis sahih tentang kepentingan mujahadah menentang kehendak nafsu ini seperti hadis Nabi SAW:

Maksudnya: Orang yang berjihad ialah yang berjuang menentang kehendak dirinya (yang buruk)[37].

Tetapi hadis ini tidaklah sampai bermaksud seperti yang digambarkan oleh hadis palsu tadi sehingga ke tahap menjadikan peperangan itu kecil dan melawan nafsu lebih besar mengatasi segalanya. Firman ALLAH:

Maksudnya : Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad pada jalan ALLAH dengan diri mereka sendiri dan harta mereka lebih besar pahalanya (dari orang yang hanya memberikan harta dan tidak pergi ke medan peperangan) di sisi ALLAH dan itulah orang-orang yang berjaya[38].

Di dalam Islam terdapat pelbagai jenis jihad dan di antaranya ialah jihad peperangan mempertahankan Islam daripada musuh, jihad dalam menuntut ilmu, jihad membangunkan ekonomi, jihad menentang hawa nafsu yang menjurus ke arah maksiat dan lain-lain lagi. Namun begitu, hadis yang disebutkan tadi adalah dhaif atau lebih rendah kedudukannya dan kita dilarang menggunakan hadis sedemikian dalam menyatakan sesuatu hukum. Marilah kita menggunakan hadis-hadis sahih dalam menentukan sesuatu perkara atau hukum. Inilah perkara yang telah disarankan oleh para ulama sejak dahulu hingga kini.

Kesepuluh:

Maksudnya: Berbual di masjid memakan pahala seperti binatang liar memakan rumput.

Kedudukan Hadis:

Menurut beberapa orang ulama hadis, hadis ini adalah palsu. Hadis ini disebut di dalam buku-buku seperti Ihya’ Ulumiddin karya al Ghazali. Al Iraqi telah memberikan komennya terhadap hadis ini dengan kata beliau: “Aku tidak menemui asalnya”[39]. Pendapat tersebut disokong oleh al Albani di dalam bukunya Silsilah al Ahadith al Dhaifah[40]. Di antara ulama hadis lain yang menyatakan bahawa hadis ini palsu ialah al Zubaidi, al Fairuz Abadi, Ibn Hajar al Asqalani, Ali al Qari dan Abd. Fattah Abu Ghuddah[41].

Ulasan:

Hadis ini secara zahirnya seolah-olah melarang kita daripada berbual atau berbincang di masjid. Sedangkan di dalam hadis-hadis yang sahih, kita dapati Rasulullah SAW seringkali berbincang dan berbual dengan para sahabat di dalam masjid. Bahkan lebih dari itu, sekumpulan orang Islam dari Habsyah telah bermain di dalam Masjid Nabawi dengan permainan pisau. Permainan tersebut bertujuan mengisi masa lapang dan juga melatih kemahiran bersenjata. Maka Rasulullah SAW dan isterinya Aisyah bersama-sama melihat kepakaran orang-orang Habsyah bermain senjata dan tidak melarangnya[42].

Masjid merupakan tempat untuk kita berbincang, menuntut ilmu, merancang perkara-perkara kebaikan dan juga bertegur sapa serta beramah mesra. Inilah yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW dan ia berlainan dengan apa yang disebutkan oleh hadis yang tidak sahih ini. Seharusnya masjid berperanan seperti zaman Rasulullah SAW bagi memastikan umat Islam terus maju dan berjaya seperti pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat.

-----------------------------------------------------------

[28]Silsilah al Ahadith al Dhaifah wa al Maudhu’ah – hadis no. 57.

[29]Al Mughni An Hamli al Asfar – al Iraqi – hadis no. 74.

[30]Silsilah al Ahadith al Dhaifah wa al Maudhu’ah – huraian hadis no. 57.

[31]Jami’ al Ulum wa al Hikam – Ibnu Rajab al Hanbali – jilid 2 – muka surat 10.

[32]Al Mughni An Hamli al Asfar – al Iraqi – hadis no. 3651.

[33]Dhaif al Jami’ al Shaghir – hadis no. 3535.

[34]Nota kaki no. 1 dalam buku al Mashnu’ Fi Ma’rifati al Hadith al Maudhu’ – Ali al Qari – muka surat 218.

[35]Jami’ al Ulum Wa al Hikam – Ibnu Rejab al Hanbali – jilid 1 – muka surat 489.

[36]Diambil daripada huraian al Albani dalam Silsilah al Ahadith ad Dhaifah wa al Maudhu’ah – hadis no. 2460.

[37]Hadis sahih riwayat al Tirmizi (hadis no. 1621) dan disahihkan oleh al Tirmizi serta disokong oleh al Albani.

[38]Surat at Taubah – ayat 20.

[39]Al Mughni An Hamli al Asfar – hadis no. 410.

[40]Silsilah al Ahadith al Dhaifah wa al Maudhu’ah – hadis no.4.

[41]Al Mashnu’ Fi Ma’rifati al Hadith al Maudhu’ – Ali al Qari – muka surat 92 (nota kaki no.2).

[42]Hadis Sahih riwayat al Bukhari (hadis no. 3530) dan Muslim (hadis no. 2105).

www.al-firdaus.com


CONTOH HADIS PALSU YANG TERSEBAR

Apakah contoh-contoh hadis dhaif dan palsu yang telah tersebar dalam masyarakat?

Jawapan:

Berikut saya senaraikan beberapa contoh hadis-hadis yang popular di dalam masyarakat. Sayangnya hadis-hadis yang popular ini pada hakikatnya adalah dhaif atau palsu. Saya menyebutnya sebagai dhaif atau palsu dengan meletakkan komen dan hasil kajian para ulama hadis dulu dan kini untuk sama-sama diteliti dan difahami. Ini bermakna, bukanlah saya yang memandai-mandai mengatakan ia dhaif atau palsu, tetapi saya berpandukan kepada hasil kajian yang telah sedia ada di dalam buku-buku para ulama hadis. Bagi para pembaca, mereka dialu-alukan untuk membetulkan kesilapan saya sama ada dari segi penggunaan bahan rujukan atau kesilapan dalam terjemahan teks asalnya yang ditulis dalam bahasa arab.

Di samping itu saya juga selitkan sedikit ulasan bagi menjelaskan maksud hadis tersebut dan juga membincangkan adakah maksud hadis boleh diterima dan disokong oleh dalil-dalil daripada Al Quran atau hadis sahih. Walau bagaimana baik maksud sesuatu hadis yang dhaif atau palsu, hadis tersebut tetap tidak boleh dinyatakan atau ‘diiklankan’ sebagai ‘hadis sahih’ atau sebagai ‘sabda Nabi SAW’. Hadis tersebut mungkin boleh dianggap sebagai kata-kata hikmah atau nasihat yang baik sekiranya maksudnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pembaca akan dapat melihat apa yang saya maksudkan dalam huraian setiap hadis.

Pertama:

Maksudnya: Tuntutlah ilmu walaupun hingga ke negeri China.

Kedudukan Hadis:

Ini adalah hadis palsu. Hadis ini telah disebutkan sebagai palsu oleh Ibn al Jauzi di dalam buku al Maudhu’at[1]. Pembaca juga boleh melihat buku Menangkis Pencemaran Terhadap Agama dan Tokoh-Tokohnya karya Mohd. Asri Zainul Abidin untuk mendapat maklumat lanjut tentang hadis ini. Hadis ini dikritik juga oleh pengkaji hadis seperti Ibnu Tahir al Maqdisi (507H)[2], al Iraqi[3], Ibn Hibban[4] dan Muhammad Nasiruddin al Albani[5].

Ulasan:

Hadis ini kerap dijadikan hujah bagi membuktikan bahawa Islam menggalakkan umatnya menuntut ilmu sejauh yang mungkin walaupun ke negara China. Sedangkan pada hakikatnya hadis ini adalah palsu. Telah ada dalil-dalil serta hujah-hujah yang jelas dalam Al Quran dan hadis-hadis sahih tentang kewajipan menuntut ilmu serta kelebihan mereka yang mempunyai ilmu. Terdapat ayat-ayat Al Quran yang mengiktiraf golongan yang berilmu contohnya:

Maksudnya : ALLAH mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan yang mempunyai ilmu dengan beberapa darjat[6].

Begitu juga di dalam hadis-hadis sahih terdapat saranan ke arah menuntut ilmu antaranya seperti hadis:

Maksudnya: Sesiapa yang melalui jalan ke arah menuntut ilmu maka ALLAH mudahkan untuknya jalan ke syurga[7].

Maksudnya: Menuntut ilmu adalah kewajipan ke atas setiap muslim [8].

Telah diketahui umum bahawa menuntut ilmu adalah kewajipan dalam kehidupan umat Islam. Apa yang ingin saya sebutkan di sini adalah kesalahan menggunakan hadis palsu dalam menyatakan sesuatu perkara yang telah sedia ada dalam Islam sama ada di dalam Al Quran atau hadis-hadis sahih. Tindakan menggunakan hadis palsu ini boleh menjadikan kita lupa bahawa ayat Al Quran atau hadis sahih sudah pun memadai dan mencukupi untuk kita menyatakan sesuatu yang berkaitan dengan Islam. Berhati-hatilah dalam menggunakan sesuatu hadis. Pastikan bahawa hadis tersebut adalah sahih sebelum menggunakannya sebagai dalil atau hujah.

Kedua:

Maksudnya: Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahad

Kedudukan Hadis:

Hadis ini adalah hadis palsu. Menurut Yusuf al Qaradhawi, walaupun maksud hadis ini benar, bukanlah bermakna itu adalah hadis yang benar-benar datang dari Nabi SAW[9]. Hadis ini juga ditolak kesahihannya sebagai sabda Nabi SAW oleh seorang pengkaji hadis zaman ini, Abd. Fattah Abu Ghuddah[10].

Ulasan:

Seperti yang telah disebutkan dalam komen saya terhadap hadis pertama, terdapat banyak dalil dalam Al Quran dan hadis-hadis yang sahih yang menyuruh dan menggalakkan umat Islam menuntut ilmu. Dalil-dalil itu sudah mencukupi dan kita tidak perlu lagi menggunakan hadis-hadis palsu yang direka. Penggunaan hadis-hadis palsu adalah salah walaupun dengan niat yang baik.

Wujudnya segolongan pendakwah atau penceramah yang tidak mendalami bidang hadis telah menyebabkan ramai pendengar yang terkeliru dengan hadis-hadis yang tidak sahih tetapi disangkanya sahih. Bahkan disangkanya hadis ini menjadi kaedah utama dalam agama Islam sehingga dia terlupa dalil yang sudah sedia ada dalam Al Quran dan hadis-hadis sahih. Pendakwah atau penceramah selalunya mencari jalan singkat untuk mengumpulkan bahan ceramahnya lalu mereka menggunakan buku-buku berbentuk akhlak atau buku cerita yang kadangkala tidak memperdulikan kesahihan fakta yang dimuatkan di dalamnya. Ada yang mengambil hadis-hadis daripada buku al Ghazali iaitu Ihya’ Ulumiddin yang sememangnya mengandungi banyak hadis dhaif dan palsu. al Iraqi telah berusaha untuk menyemak kembali hadis-hadis di dalam buku Ihya’ Ulumiddin dan mengkaji kesahihannya atau kedhaifannya. Segala kajian al Iraqi itu beliau muatkan di dalam bukunya berjudul al Mughni ‘An Hamli al Asfar dan jika kita membaca kajian beliau, kita akan dapati terlalu banyak hadis yang tidak sahih ada dalam buku al Ghazali itu.

Kepada pembaca buku Ihya’ Ulumiddin, saya nasihatkan supaya mereka melihat kajian al Iraqi dan memastikan adakah hadis itu sahih atau tidak. Terdapat beberapa versi buku Ihya’ Ulumiddin yang dicetak bersama dengan kajian al Iraqi sebagai nota kaki. Tidak ada sesiapa yang menyalahkan al Ghazali kerana kesilapannya dalam buku Ihya’ Ulumiddin kerana al Ghazali adalah manusia biasa yang tidak terlepas daripada kesilapan. Beliau berkemungkinan besar tidak tahu bahawa sesuatu hadis itu palsu lalu menyebutnya dalam Ihya’ Ulumiddin. Tetapi kita sebagai pembaca pada zaman ini perlulah mengelak dari menggunakan hadis-hadis palsu dalam Ihya’ Ulumiddin kerana kita telah pun tahu tentang kepalsuannya berdasarkan kajian al Iraqi serta ulama lain. Kita menghormati al Ghazali tetapi kita tidak akan mengulangi kesilapan yang beliau telah lakukan iaitu tersalah dalam menyebut hadis-hadis palsu yang disangka beliau sebagai sahih.

Ketiga:

Maksudnya: Tidur selepas subuh/ waktu pagi menghalang rezeki.

Kedudukan Hadis:

Hadis ini adalah hadis palsu. Hadis ini dilabelkan sebagai palsu oleh al Hasan Ibn Muhammad al Shoghoni dan disokong oleh ahli hadis masa kini, Abd. Fattah Abu Ghuddah[11]. Manakala di antara ulama yang melabelkan hadis ini sebagai sangat dhaif pula ialah al Haithami[12], Ahmad Syakir[13], Muhammad Nasiruddin al Albani[14] dan Syuaib al Arnaouth[15].

Ulasan:

Tiada tegahan dan tiada pula suruhan ke arah perkara ini. Perkara ini dilakukan mengikut kesesuaian keadaan dan keperluan. Sedangkan sesiapa sahaja yang ingin mencari hadis ini pasti akan menemui bahawa para ulama hadis yang terkenal telah mengkritik hadis ini sekaligus menjadikannya hadis yang tidak sahih. Ada pula yang berhujah bahawa logik akal menyokong hadis ini kerana orang yang bekerja akan lewat ke tempat kerja dan tidak dapat menjalankan tugas sekiranya tidur selepas subuh. Mereka seolah-olah lupa bahawa ada juga masyarakat kita yang bekerja pada waktu petang dan malam. Adakah mereka tidak dapat menjalankan tugas jika tidur selepas subuh?

Persoalan rezeki ini adalah persoalan besar dan untuk menyatakan sesuatu perkara itu menghalang rezeki, kita memerlukan hujah dan dalil yang kuat daripada Al Quran atau hadis sahih. Terdapat beberapa perkara lagi yang dikatakan menghalang rezeki seperti minum daripada gelas sumbing, menjahit baju di badan sendiri dan lain-lain lagi tetapi semuanya tidak mempunyai dalil atau hujah daripada Al Quran atau hadis sahih.

Keempat:

Kisah sahabat Nabi bernama Sa’labah ثعلبة yang tidak membayar zakat.

Kedudukan Hadis:

Hadis ini adalah hadis palsu. Maklumat lanjut ada di dalam buku al Sohih al Musnad Min Asbab al Nuzul karya Syeikh Muqbil bin Hadi al Wadii[16]. Buku ini merupakan antara hasil karya yang terbaik daripada Syeikh Muqbil yang merupakan seorang pengkaji hadis dari negara Yaman. Beliau berusaha mengumpulkan asbab nuzul (sebab-sebab ayat Al Quran diturunkan) yang sahih sahaja. Ini kerana sememangnya telah diketahui bahawa tidak semua asbab nuzul yang tercatat dalam buku-buku terdahulu adalah sahih. Menurut Syeikh Muqbil, kisah Sa’labah yang tidak membayar zakat ditolak kesahihannya oleh imam-imam hadis terkenal seperti Ibnu Hazm (al Muhalla) , al Suyuthi (Lubab al Nuqul) , Ibnu Hajar al Asqalani (Takhrij al Kasyaf dan Fath al Bari), al Haithami (Majma’ al Zawaaid), al Zahabi (Tajrid Asma’ al Sahabah), al Munawi (Faidh al Qadir) dan al Iraqi (al Mughni takhrij Ihya’ Ulumiddin). Di dalam sanad hadis tersebut terdapat periwayat yang dikritik sebagai dhaif iaitu Ali bin Yazid al Alhani.

Syeikh Muqbil al Wadii juga menyatakan bahawa terdapat riwayat yang disebutkan daripada Ibnu Abbas yang menceritakan bahawa kisah ini adalah berkaitan dengan seorang sahabat bernama Sa’labah bin Abi Hathib dan bukan Sa’labah bin Hathib. Namun riwayat itu juga tidak sahih kerana bersumberkan daripada periwayat-periwayat yang tidak diterima.

Salah seorang ulama dan pendakwah terkemuka Mesir, Muhammad Hassan telah menyenaraikan beberapa hujah yang membuktikan bahawa kisah Sa’labah ini adalah kisah yang tidak benar. Hujah-hujah untuk mendhaifkan hadis ini disebut dalam salah satu ceramah beliau dan boleh didengari dari laman web www.islamway.com.

Kisah ini juga dikritik kesahihannya oleh Yusof al Qaradhawi dalam bukunya Kaifa Nata’amalu Ma’a al Sunnah al Nabawiyyah[17], Al Iraqi[18] dan Muhammad Nasiruddin al Albani[19].

Ulasan:

Boleh dikatakan semua ulama tafsir dan hadis yang terkenal telah mendhaifkan hadis ini. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan kisah ini benar. Sayangnya hadis ini amat popular terutama dalam kalangan yang ingin mengajak masyarakat supaya membayar zakat serta tidak melengahkan pembayarannya. Kisahnya berkisar tentang seorang sahabat Nabi SAW yang bernama Sa’labah bin Hathib yang pada asalnya miskin. Namun setelah didoakan oleh Nabi SAW, dia telah menjadi kaya raya. Kekayaannya menjadikannya sombong dan enggan menunaikan zakat. Akhirnya beliau tidak diterima taubatnya oleh Rasulullah SAW kerana turunnya ayat daripada surah at Taubah. Selepas baginda wafat, para khalifah tidak ingin menerima zakat yang ingin diberikan oleh Sa’labah. Kisah ini adalah kisah yang tidak benar.

Azab siksa yang dijanjikan kepada mereka yang tidak membayar zakat telah ada disebutkan di dalam nas-nas yang sahih iaitu Al Quran dan hadis sahih. Oleh sebab itu kita melihat dalam sejarah Islam berlakunya peperangan yang dipimpin oleh khalifah pertama Islam , Abu Bakr al Siddiq menentang golongan yang tidak mahu membayar zakat.

Kelima:

Maksudnya: Sesiapa yang tidur selepas Asar lalu hilang akalnya, maka janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.

Kedudukan Hadis:

Hadis ini adalah hadis dhaif seperti yang telah dihuraikan oleh al Albani di dalam bukunya Silsilah al Ahadith al Dhaifah[20]. Sebelum daripada al Albani, hadis ini juga telah didhaifkan oleh al Haithami[21].

Ulasan:

Setahu penulis, tidur selepas Asar belum dibuktikan kemudharatannya dari segi perubatan. Kalaulah sekiranya dapat dibuktikan dari segi perubatan bahawa perbuatan ini memberikan kesan kepada akal manusia, maka kita akan menyatakan bahawa ia dilarang berhujahkan kenyataan dari aspek perubatan tersebut dan bukannya berhujahkan hadis yang tidak sahih ini. Hadis dhaif dan palsu tetap tidak boleh dijadikan hujah atau dalil untuk melarang sesuatu perkara yang asalnya tidak dilarang.

Terdapat satu kisah berkaitan persoalan tidur selepas waktu Asar. Seorang imam fiqh dan hadis yang masyhur, al Laith bin Saad (175H) pernah ditegur oleh salah seorang rakannya kerana beliau mendapati al Laith tidur selepas Asar pada bulan Ramadhan. Rakannya itu membacakan hadis yang telah disebutkan di atas tadi (riwayat Ibnu Adi dalam buku al Kamil) sebagai hujah untuk menegur al Laith. Apabila al Laith mendengar sanad hadis itu dibaca, maka beliau telah mengesan satu kecacatan dalam hadis tersebut iaitu terdapat periwayat bernama Abdullah bin Lahi’ah yang meriwayatkan hadis itu daripada periwayat bernama Aqil. Al Laith lalu berkata: “Aku tidak akan meninggalkan perkara yang bermanfaat kepada diriku ini (tidur selepas Asar) hanya kerana hadis yang diambil dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Aqil”. Maksud al Laith ialah beliau tidak akan meninggalkan tidur selepas Asar yang bermanfaat baginya hanya kerana satu hadis yang tidak sahih[22].

Keenam:

Maksudnya: Kebersihan itu separuh daripada iman.

Kedudukan Hadis:

Hadis ini telah dikritik dan dilabelkan sebagai hadis dhaif jiddan (sangat dhaif) oleh al Iraqi[23] dan dinyatakan sebagai palsu oleh al Albani[24] dengan lafaz yang hampir sama iaitu “kebersihan itu menyeru kepada keimanan”.

Ulasan:

Telah disepakati oleh semua orang yang mempelajari tentang Islam melalui sumber utamanya iaitu Al Quran dan hadis sahih bahawa Islam memang mementingkan kebersihan. Tetapi tidak ada hadis yang menyatakan bahawa “Kebersihan itu separuh daripada iman”. Kita perlu berhati-hati apabila menyebutkan sesuatu hadis dan tidak sekadar menyebutnya kerana maknanya bertepatan dengan ajaran Islam.

Terdapat satu perkara yang menarik yang saya pernah temui iaitu satu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih Muslim[25] dengan lafaz: الطهور شطر الإيمان yang diterjemahkan dengan maksud: “Kebersihan itu sebahagian daripada iman”. Terjemahan sebegini saya temui di dalam salah sebuah majalah yang pernah saya baca. Sedangkan maksud hadis itu yang sebenar menurut kata para pengkaji hadis dalam buku-buku mereka ialah: “Bersuci dari hadas adalah separuh daripada solat”. Terdapat perselisihan pendapat tentang maksud hadis ini dalam buku Jami’ al Ulum wa al Hikam karya Ibnu Rejab al Hanbali (795H). Ibnu Rajab telah membincangkan maksud sebenar perkataanالطهور dan perkataan الإيمان dengan membawa banyak pendapat para ulama. Kesimpulan yang diambil oleh Ibnu Rajab ialah perkataan الطهور membawa maksud ‘bersuci daripada hadas’ dan maksudالإيمان pula ialah ‘solat’[26]. Maksud hadis ini betul, namun hakikat ini tidak bermakna kata-kata tersebut telah benar-benar diucapkan oleh Rasulullah SAW. Kita mesti berhati-hati dalam menyebut sesuatu berkaitan Rasulullah SAW[27].

-------------------------------------------------------------

[1]Al Maudhu’at – Ibn al Jauzi – jilid 1 – muka surat 215.

[2]Makrifat al Tazkirah – Ibn Tahir al Maqdisi – hadis no. 118.

[3]Al Mughni An Hamli al Asfar – hadis no. 36 – susunan oleh Abu Muhammad Asyraf Bin Abd. Maqsud – cetakan pertama 1995 – Maktabah Dar al Thabariyyah, Riyadh.

[4]Kata-kata beliau diambil daripada buku Ahadith La Tasihhu – Sulaiman Bin Salih al Kharashiy – hadis no. 21 – laman web www.saaid.net).

[5]Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadis no. 416 dan Dhaif al Jami’ al Shaghir – hadis no. 906 dan 907.

[6]Surah al Mujadalah – ayat 11.

[7]Hadis riwayat Muslim – hadis nombor 2699

[8]Hadis riwayat Ibnu Majah – hadis nombor 224 dan ia disahihkan oleh al Albani dalam semakannya terhadap Sunan Ibn Majah. Hadis ini juga dinilai sebagai hadis hasan oleh Basyar Awwad Ma’ruf dalam kajiannya terhadap Sunan Ibn Majah.

[9]Taisir al Fiqh Li al Muslim al Mu’ashir – Prof.Yusuf al Qaradawi – m.s. 215.

[10]Qiimatu al Zaman ‘Inda al Ulama’ – Abd. Fattah Abu Ghuddah – muka surat 30 – cetakan kelapan,1998 – Maktab al Mathbu’at al Islamiyyah, Halab.

[11]Al Mashnu’ Fi Ma’rifati al Hadith al Maudhu’ – Ali al Qari – tahqiq Abd. Fattah Abu Ghuddah – muka surat 230.

[12]Majma’ al Zawaaid – al Haithami – hadis no. 6091.

[13]Al Musnad – Ahmad Ibn Hanbal – edisi tahqiq Ahmad Syakir – jilid 2 – muka surat 4.(www.dorar.net)

[14]Dhaif al Jami’ as Shaghir – hadis no. 1484 dan 3531.

[15]Al Musnad – Ahmad Ibn Hanbal – hadis no. 530– cetakan Muassasah al Risalah, Beirut.

[16]As Sahih al Musnad Min Asbab an Nuzul – Muqbil Bin Hadi al Wadii – muka surat 11-12 – cetakan kedua 1994 – Dar Ibn Hazm.

[17]Kaifa Nata’amalu Ma’a al Sunnah al Nabawiyyah – Prof.Dr.Yusof al Qaradhawi – muka surat 67 – al Ma’had al ‘Alami Li al Fikr al Islamiyy, Amerika Syarikat.

[18]Al Mughni An Hamli al Asfar – al Iraqi – hadis no. 3340.

[19]Silsilah al Ahadith al Dhaifah wa al Maudhu’ah – hadis no. 1607..

[20]Silsilah al Ahadith ad Dhaifah wa al Maudhu’ah – al Albani – hadis no. 39 dan Dhaif al Jami’ al Shaghir – hadis no. 5861.

[21]Majma’ al Zawaaid – al Haithami – hadis no. 8254.

[22]Silsilah al Ahadith al Dhaifah wa al Maudhu’ah – al Albani – huraian bagi hadis no. 39.

[23]Al Mughni An Hamli al Asfar – al Iraqi – hadis no. 278.

[24]Dhaif al Jami’ al Shaghir – hadis no. 6163 dan 2414.

[25]Hadis no. 223 dan diriwayatkan juga oleh al Tirmizi (hadis no. 3517).

[26]Jami’ al Ulum wa al Hikam – Ibn Rajab al Hanbali – jilid 2 – muka surat 7 hingga 14.

[27]Sila lihat kembali jawapan kepada soalan nombor 18 dalam buku ini.

http://hafizfirdaus.com/ebook/20asashadis/isu20.htm